Bagian keempat (terakhir) dari rangkaian tulisan "Manik-manik untuk Papua" , lanjutan "Manik-manik untuk Papua 3 : Mama-mama..., Mari Kita Meronce Bersama"
Setelah beberapa hari berbagi kebahagiaan dengan mama-mama di Ilu, kami kembali ke Wamena melalui jalan darat.
Suasana pagi hari saat meninggalkan Ilu... oh, andai udara segar itu bisa kubawa..
Kali ini kondisi jalan
lumayan parah karena selama kami di Ilu hujan turun setiap sore atau malam
hari... becek di beberapa tempat. Satu mobil sempat tertahan di lumpur,
untung tidak lama sudah bisa terbebas dari lumpur dan perjalanan bisa
dilanjutkan tanpa hambatan.
Sembilan
jam melintasi lereng-lereng gunung, menyeberangi sungai, menembus kabut
di ketinggian di atas 3000 meter di atas permukaan laut... dan melalui
hutan purba yang membuat kami seakan-akan berada di jurasic park...
perjalanan yang tak terlukiskan indahnya.
Di
Wamena kami tertahan selama dua hari karena kesulitan mendapatkan tiket
pesawat ke Jayapura. Yah..., maklum menjelang libur Natal dan Tahun
Baru.
Waktu
yang ada tentu saja kami manfaatkan berjalan-jalan ke pasar Jibama...
pasar terbesar di Wamena. Di sana aku menjumpai beberapa anak muda yang
menjual kalung manik-manik.
Ternyata mahal juga. Untuk seuntai manik-manik
plastik dihargai antara Rp. 50.000,- s/d Rp. 100.000,- . Yang dihiasi
kulit batang anggrek dengan fokal taring babi harganya Rp. 200.000,-
Akhirnya aku putuskan membeli kalung chocker dari seedbeads seharga Rp.
75.000,- .... ceritanya ingin ikut memajukan perekonomian masyarakat
lokal di situ.
Selain ke Pasar Jibama, tentunya
kami juga menyempatkan diri menikmati kuliner khas Wamena... Udang
Selingkuh.. hahaha.. ini sebenarnya adalah sejenis lobster air tawar
yang bahasa kerennya adalah Crayfish. Bentuknya memang seperti lobster,
hanya saja capitnya kecil. Rasanya? ENAK!!! tak ada duanya. Disebut
udang selingkuh karena rasa dan bentuknya yang merupakan perpaduan udang
dan kepiting.
Dari
Wamena, perjalanan pulang melalui Jayapura. Aku dan seorang teman
memutuskan untuk singgah di Biak, sebuah kota kecil di atas pulau karang
indah.
Di sini kami
mengunjungi beberapa tempat, sekaligus bernostalgia sedikit, karena
lebih dari 15 tahun lalu aku tinggal dan bekerja di Biak selama hampir 4 tahun.
Bosnik di Biak Timur adalah yang pertama kami kunjungi. Beruntung saat itu adalah
hari pasar... Layaknya pasar, ada yang jual makanan tentunya... hahaha..
selain pencinta perhiasan, aku juga pencinta makanan..
Paket
Nasi ketupat kuning dengan sayur daun/bunga pepaya dan ikan, singkong
barapen.. yang merupakan singkong parut dibumbui parutan kelapa
dibungkus daun pisang dan dibakar sampai matang, ada juga cumi bumbu
rica... enak deh pokoknya! hahahaa..
Dan ini yang agak
berbeda... di pasar ada yang jual assessories juga!!! dan tentunya disesuaikan
dengan potensi bahan yang mudah didapat disana... kerang-kerangan and
hasil laut lainnya.
Tekniknya
sederhana, tapi tak kalah indah hasilnya.. dan lihat meja
pajangannya... tak kalah dengan para peserta pameran perhiasan di
kota-kota besar kan?
Manik-manik
kerang, manik duri landak laut, manik beras alias seedbeads... dan
mulailah saya berkhayal... kalau saja ada waktu dan kesempatan, ingin
rasanya berbagi kebahagiaan meronce manik-manik dengan mama-mama di Biak
juga... mudah-mudahan suatu saat nanti Tuhan beri kesempatan.
Yang
seperti garpu di foto kanan atas itu adalah sisir tradisional yang
terbuat dari bambu. Menarik dan unik yaaa...? Selain anting-anting dan
kalung, ada juga hiasan konde, jepit rambut... dan yang seperti
pundi-pundi itu adalah tempat kapur untuk makan pinang. Dan lihat...
memanfaatkan botol plastik bekas minuman... Oh, oh, oh... angkat topi
saya untuk mama-mama di Biak! kreatif memanfaatkan barang bekas menjadi
pundi-pundi kapur sirih yang indah.
Dari pasar Bosnik,
kami singgah di pantai putih tak jauh dari pasar... menikmati suasana
pantai. Disini aku menemukan sesuatu yang tak terduga... sea-glass!!
Rupanya
pantai ini juga merupakan tempat kaum muda berkumpul yang sering
membawal botol minuman dari kaca untuk dinikmati di pantai.
Pecahan-pecahan botol kaca tersebut lama kelamaan tergerus pasir dan air
laut... seperti diampelas oleh alam... sehingga menjadi buram dan doff.
Saya kumpulkan beberapa yang sudah mulai doff permukaannya... hihihi,
senangnyaaa... kalau mau serius mencari bisa tuh dapat satu karung. Cuma
hati-hati, harus menggunakan alas kaki karena banyak pecahan botol kaca
yang masih tajam. Perlu bertahun-tahun untuk pecahan kaca tersebut
berubah menjadi doff dan tidak tajam lagi. Harta karun tak terduga di
pantai Bosnik Biak.
Dari pantai Bosnik, kami
mengunjungi Monumen Perang Dunia Kedua yang didirikan oleh Pemerintah
Jepang untuk mengenang tentara mereka yang gugur di Biak saat Perang
Dunia Kedua.
Di
dalam monumen terdapat abu tujuh serdadu Jepang. Setiap tahun keluarga
mereka menyambangi monumen itu dengan membawa beberapa benda kenangan
dan burung bangau kertas yang digantung di kotak penyimpanan abu mereka.
Indah sekali yah? dan sekaligus mengharukan.
Sebenarnya
banyak lagi tempat-tempat di Biak yang kami kunjungi... Taman Burung,
Pantai Biak Barat, Pantai dan air terjun di Biak Utara.... Indonesia
memang indah!! Tapi yang ada hubungannya dengan perhiasan, permanikan,
dan craft ya tiga tempat di atas. Mudah-mudahan di masa depan diberi
kesempatan berkunjung kesana lagi.. Amin!
Sekali lagi,
terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah berbaik hati
mendonasikan manik-manik untuk mama-mama di Ilu... mereka titip salam
dan beribu-ribu ucapan terima kasih...
Lili Krist Manik Jawa,
Mikko Wiropati,
Febrini A. Risyad,
Isworo Larasati,
Tanti Saraswati,
Tanty Sri Hartati.... Tuhan memberkati niat baik teman-teman semua. Mudah-mudahan foto-foto dalam rangkaian artikel ini bisa sedikit memuaskan kesetiakawanan teman-teman akan saudara kita di Papua.
<tamat>
Kisah perjalanan saya,
Esterina Jagiella, selama hampir tiga minggu di Pulau Papua pada bulan Desember 2013.