Sunday, March 23, 2014

Manik-manik untuk Papua 4 : Kenangan di Wamena dan Biak

Bagian keempat (terakhir) dari rangkaian tulisan "Manik-manik untuk Papua" , lanjutan "Manik-manik untuk Papua 3 : Mama-mama..., Mari Kita Meronce Bersama"


Setelah beberapa hari berbagi kebahagiaan dengan mama-mama di Ilu, kami kembali ke Wamena melalui jalan darat.


Suasana pagi hari saat meninggalkan Ilu... oh, andai udara segar itu bisa kubawa..

Kali ini kondisi jalan lumayan parah karena selama kami di Ilu hujan turun setiap sore atau malam hari... becek di beberapa tempat. Satu mobil sempat tertahan di lumpur, untung tidak lama sudah bisa terbebas dari lumpur dan perjalanan bisa dilanjutkan tanpa hambatan.


Sembilan jam melintasi lereng-lereng gunung, menyeberangi sungai, menembus kabut di ketinggian di atas 3000 meter di atas permukaan laut... dan melalui hutan purba yang membuat kami seakan-akan berada di jurasic park... perjalanan yang tak terlukiskan indahnya.


Di Wamena kami tertahan selama dua hari karena kesulitan mendapatkan tiket pesawat ke Jayapura. Yah..., maklum menjelang libur Natal dan Tahun Baru. 


Waktu yang ada tentu saja kami manfaatkan berjalan-jalan ke pasar Jibama... pasar terbesar di Wamena. Di sana aku menjumpai beberapa anak muda yang menjual kalung manik-manik. 







Ternyata mahal juga. Untuk seuntai manik-manik plastik dihargai antara Rp. 50.000,- s/d Rp. 100.000,- . Yang dihiasi kulit batang anggrek dengan fokal taring babi harganya Rp. 200.000,- Akhirnya aku putuskan membeli kalung chocker dari seedbeads seharga Rp. 75.000,- .... ceritanya ingin ikut memajukan perekonomian masyarakat lokal di situ.

Selain ke Pasar Jibama, tentunya kami juga menyempatkan diri menikmati kuliner khas Wamena... Udang Selingkuh.. hahaha.. ini sebenarnya adalah sejenis lobster air tawar yang bahasa kerennya adalah Crayfish. Bentuknya memang seperti lobster, hanya saja capitnya kecil. Rasanya? ENAK!!! tak ada duanya. Disebut udang selingkuh karena rasa dan bentuknya yang merupakan perpaduan udang dan kepiting.




Dari Wamena, perjalanan pulang melalui Jayapura. Aku dan seorang teman memutuskan untuk singgah di Biak, sebuah kota kecil di atas pulau karang indah.

Di sini kami mengunjungi beberapa tempat, sekaligus bernostalgia sedikit, karena lebih dari 15 tahun lalu aku tinggal dan bekerja di Biak selama hampir 4 tahun.

Bosnik di Biak Timur adalah yang pertama kami kunjungi. Beruntung saat itu adalah hari pasar... Layaknya pasar, ada yang jual makanan tentunya... hahaha.. selain pencinta perhiasan, aku juga pencinta makanan.. 

Paket Nasi ketupat kuning dengan sayur daun/bunga pepaya dan ikan, singkong barapen.. yang merupakan singkong parut dibumbui parutan kelapa dibungkus daun pisang dan dibakar sampai matang, ada juga cumi bumbu rica... enak deh pokoknya! hahahaa..

Dan ini yang agak berbeda... di pasar ada yang jual assessories juga!!! dan tentunya disesuaikan dengan potensi bahan yang mudah didapat disana... kerang-kerangan and hasil laut lainnya.

Tekniknya sederhana, tapi tak kalah indah hasilnya.. dan lihat meja pajangannya... tak kalah dengan para peserta pameran perhiasan di kota-kota besar kan?

Manik-manik kerang, manik duri landak laut, manik beras alias seedbeads... dan mulailah saya berkhayal... kalau saja ada waktu dan kesempatan, ingin rasanya berbagi kebahagiaan meronce manik-manik dengan mama-mama di Biak juga... mudah-mudahan suatu saat nanti Tuhan beri kesempatan.

Yang seperti garpu di foto kanan atas itu adalah sisir tradisional yang terbuat dari bambu. Menarik dan unik yaaa...? Selain anting-anting dan kalung, ada juga hiasan konde, jepit rambut... dan yang seperti pundi-pundi itu adalah tempat kapur untuk makan pinang. Dan lihat... memanfaatkan botol plastik bekas minuman... Oh, oh, oh... angkat topi saya untuk mama-mama di Biak! kreatif memanfaatkan barang bekas menjadi pundi-pundi kapur sirih yang indah.

Dari pasar Bosnik, kami singgah di pantai putih tak jauh dari pasar... menikmati suasana pantai. Disini aku menemukan sesuatu yang tak terduga... sea-glass!!

Rupanya pantai ini juga merupakan tempat kaum muda berkumpul yang sering membawal botol minuman dari kaca untuk dinikmati di pantai. Pecahan-pecahan botol kaca tersebut lama kelamaan tergerus pasir dan air laut... seperti diampelas oleh alam... sehingga menjadi buram dan doff. Saya kumpulkan beberapa yang sudah mulai doff permukaannya... hihihi, senangnyaaa... kalau mau serius mencari bisa tuh dapat satu karung. Cuma hati-hati, harus menggunakan alas kaki karena banyak pecahan botol kaca yang masih tajam. Perlu bertahun-tahun untuk pecahan kaca tersebut berubah menjadi doff dan tidak tajam lagi. Harta karun tak terduga di pantai Bosnik Biak.

Dari pantai Bosnik, kami mengunjungi Monumen Perang Dunia Kedua yang didirikan oleh Pemerintah Jepang untuk mengenang tentara mereka yang gugur di Biak saat Perang Dunia Kedua.

Di dalam monumen terdapat abu tujuh serdadu Jepang. Setiap tahun keluarga mereka menyambangi monumen itu dengan membawa beberapa benda kenangan dan burung bangau kertas yang digantung di kotak penyimpanan abu mereka. Indah sekali yah? dan sekaligus mengharukan.

Sebenarnya banyak lagi tempat-tempat di Biak yang kami kunjungi... Taman Burung, Pantai Biak Barat, Pantai dan air terjun di Biak Utara.... Indonesia memang indah!! Tapi yang ada hubungannya dengan perhiasan, permanikan, dan craft ya tiga tempat di atas. Mudah-mudahan di masa depan diberi kesempatan berkunjung kesana lagi.. Amin!

Sekali lagi, terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah berbaik hati mendonasikan manik-manik untuk mama-mama di Ilu... mereka titip salam dan beribu-ribu ucapan terima kasih... Lili Krist Manik Jawa, Mikko Wiropati, Febrini A. Risyad, Isworo Larasati, Tanti Saraswati, Tanty Sri Hartati.... Tuhan memberkati niat baik teman-teman semua. Mudah-mudahan foto-foto dalam rangkaian artikel ini bisa sedikit memuaskan kesetiakawanan teman-teman akan saudara kita di Papua.

<tamat>
Kisah perjalanan saya, Esterina Jagiella, selama hampir tiga minggu di Pulau Papua pada bulan Desember 2013.












Manik-manik untuk Papua 3 : Mama-mama..., Mari Kita Meronce Bersama

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari 4 rangkaian artikel,
lanjutan dari "Manik-manik untuk Papua 1 : Berangkaaaaaaat" dan "Manik-manik untuk Papua 2 : Ilu dan Budaya Manik-manik"... jadi, untuk lengkapnya tengok dan baca itu dulu ya?

Semula, rencananya adalah mengadakan kegiatan “Manik-manik untuk Papua” di teras samping Puskesmas Ilu, tapi ternyata di hari kedua ada kegiatan pemeriksaan dokter spesialis bedah, spesialis kandungan, dan spesialis penyakit dalam dengan dokter-dokter dari Jayapura dan kota Mulia, akibatnya Puskesmas terlalu ramai. Akhirnya diputuskan kegiatan “Manik-manik untuk Papua” dipindahkan di teras depan rumah tempat kami menginap. Begitu mendengar akan ada kegiatan ini, mama-mama sangat senang sekali.

Hari Kamis siang, beberapa mama-mama datang untuk membuat kalung manik-manik. Berbeda dengan saat di Oksibil, yang bisa dilakukan disini adalah simple stringing. Warna-warna yang mereka suka ternyata juga yang cerah, nge-jreng, berkilau-kilau, bling-bling… apalagi bila warnanya merah… itu warna favorit mereka. Hijau adalah warna yang paling akhir mereka pilih, mungkin karena sehari-hari yang mereka lihat adalah hijau-hijauan dedaunan dan pepohonan. 

Lihat... semua senaaaaang... masing-masing membuat satu kalung, satu gelang, dan satu anting-anting untuk dirinya sendiri dan satu kalung atau gelang untuk anak-anak yang dibawa.

Mama dengan bayi ini terbiasa kerja cepat rupanya... paling cepat selesai dan langsung dipakai. Bagus ya kalung yang dia buat? Tidak lama kemudian Malikha kecil juga segera memakai kalung barunya.

Saya coba mengajarkan komposisi warna dan bentuk, dengan beberapa contoh kalung yang sudah saya buat sebelumnya. Awalnya mereka mencoba mengikuti, tapi saya lihat, mereka begitu terpesona dengan manik-manik yang ada di depan mereka. Sepertinya yang mama-mama pikirkan begini : “Ah, ini bagus, saya mau (sambil memasukkannya ke tali senar yang mereka pegang)… dan ini juga…” Beberapa mampu memadu-padankan dengan lebih baik, tapi sebagian besar ya menuruti apa yang dia suka dan memasukkan tali senar ke lubang manik tanpa bisa membayangkan jadinya akan seperti apa. Tetapi, menyaksikan bagaimana antusias dan senangnya mereka, saya akhirnya menyerah… hehehee.. saya pikir: yang penting mereka senang. 

Berpose dulu sejenak dengan kalung, gelang dan anting-anting hasil buatan sendiri.

Dan esoknya hari Jumat...

Oh ya, anak muda ganteng itu namanya Rudy, kelas 2 SMP, anak pemilik rumah yang kami sewa. Dia yang banyak membantu kami... memastikan bak-bak kamar mandi terisi air, menyalakan genset saat hari sudah mulai gelap, air panas untuk minum tersedia dalam termos besar, dan banyak lagi.. Sejak hari pertama kegiatan manik-manik, dia senang sekali dan dia ikut membantu mama-mama dan teman-temannya membuat kalung. Kreatifitas dan bakat seninya ternyata lebih dari para mama lhoo.. Tali-tali biru hijau kuning dari mbak Lilik akhirnya dibuat tas selempang dengan teknik macrame... aku ajarkan sebentar dan Rudy langsung mengerti... sayang aku lupa memfotonya. 

Dan ini mama yang membawa babi kecil di dalam nokennya, tas rajut dari tali berwarna coklat... itu yang ditaruhnya di belakang punggungnya.  Jadi lucu yaa.. ada yang bawa bayi, anak kecil, anjing... dan babi... hahaha... tapi semua tenang tidur kecuali bayi-bayi yang terkadang rewel.

Malikha kecil sibuk bermain-main sendiri dengan sepatu temanku, sementara Rudy sang kakak sedang membantu seorang mama.

 Gadis kecil ini cantik dengan kalung hitam dan anting-anting baru yang mamanya buat.

Disini aku belajar bahwa ternyata bagus atau tidak adalah sesuatu yang relatif, dan aku juga belajar memahami pola pemikiran mereka tentang keindahan. Keindahan ternyata adalah konsep yang cukup relatif ya..., sering berganti dan bergeser seiring perubahan waktu, jaman… berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain... mungkin itulah sebabnya mengapa kita sering mengikuti trend mode, agar tetap up to date dengan apa yang dianggap indah dan digemari di saat itu, meskipun setiap orang punya konsep tentang keindahannya masing-masing. Dengan pemahaman seperti itu, dan mempelajari manik-manik macam apa yang mereka suka, beberapa hari kemudian aku dan beberapa teman dari tim membuat 15 buah kalung untuk mama-mama kader kesehatan di Ilu.

Mama-mama kader sedang bekerja menyetrika linen-linen dan pakaian operasi, dan teman-teman Palang Merah berjibaku ramai-ramai membuat kalung-kalung untuk mama-mama kader. Terima kasih ya teman-teman...

Mama-mama kader ini ingin sekali mengikuti kegiatan pembuatan kalung manik-manik, tetapi tidak bisa karena mereka harus bekerja membantu kegiatan operasi katarak dengan bersih-bersih, mencuci dan menyetrika baju-baju dan linen operasi, serta merawat dan menjaga pasien yang baru dioperasi.

Inilah kalung-kalung dan beberapa gelang hasil gotong royong... Yang belajar dan menikmati pekerjaan membuat kalung ternyata tidak hanya mama-mama Papua disana, tapi juga teman-teman tim program katarak yang ikut serta membantu membuatkan mama-mama kader kalung-kalung indah ini. Makasih yaaa....

Mama-mama kader... akhirnya dapat kalung manik-manik juga... mereka bilang: 'Terimakasih untuk hadiahnya, kami senaaaang sekali.. waah, waaah...'

Dua hari meronce manik-manik bersama mama-mama di Ilu membawa kenangan tersendiri yang tidak akan pernah aku lupakan. Terharu dan senang rasanya melihat bagaimana mama-mama di Ilu begitu bahagia dan semangat dengan kegiatan "Manik-manik untuk Papua" ini.


Bersambung ke bagian 4 : Manik-manik untuk Papua : Kenangan di Wamena dan Biak

 

Manik-manik untuk Papua 2 : Ilu dan Budaya Manik-manik




Tulisan ini merupakan bagian kedua dari 4 rangkaian tulisan,
lanjutan dari "Manik-manik untuk Papua 1 : Berangkaaaaaaat"...
jadi tengok dan baca artikel itu dulu ya?


 Ilu, pagi itu begitu sejuk.. embun dan kabut masih menutupi sebagian rumah-rumah. Dingin! mungkin kata ini lebih tepat. Matahari mulai muncul dari balik gunung. Ayam jantan terdengar berkokok beberapa kali.. Ih!! itu kan ayam jantan gila yang kalau berkokok ndak liat-liat waktu... tengah malam, siang, sore, kapan aja dia mau kukuruyuk, berbunyilah dia... hahaha, dia perlu dibeliin jam dengan alarm kayanya... (hahaha... omelan gak jelas karena malam sebelumnya kebangun beberapa kali gara-gara ayam gila itu)

Hari itu, Rabu 11 Desember 2013, siangnya kami makan siang di suatu kios serba ada dekat pasar. Kios itu ternyata menjual juga manik-manik kaca seedbeads, jarum kait untuk crochet dan tali warna warni (biasa dipakai mama-mama untuk membuat noken, tas rajut khas suku-suku di Papua). Hanya ada satu macam manik-manik, dengan 3 warna... biru, orange, dan merah. Mau tahu harganya? Rp 10.000,- untuk satu takaran tutup botol air kemasan! Muuuwaahhhaaaall!!!


Jadi bisa dibayangkan bagaimana senangnya mama-mama Papua nantinya... 

Manik-manik sudah menjadi budaya suku Dani sejak beratus-ratus tahun lalu. Dan manik-manik ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Manik-manik tua ini mereka sebut dengan sebutan "Manik-manik Nenek Moyang". Tidak hanya dalam acara-acara adat dan keagamaan, bagi suku Dani manik-manik merupakan "pakaian" yang harus mereka kenakan sehari-hari. Tentunya untuk acara-acara penting mereka mengenakan kalung dan perhiasan manik-manik yang lebih "heboh" dan menyolok. Tetapi yang sehari-hari pun sudah cukup banyak dan menarik.

Nah, tentunya kurang afdol ya kalau tidak ada foto-foto. Untungnya masyarakat di Ilu senang sekali bila di foto. Sering kali justru minta di foto bila melihat ada yang membawa kamera. Bila hasil foto kita perlihatkan ke mereka melalui layar kecil LCD di kamera, terutama mama-mama, mereka akan berseru dengan nada tinggi: 'jhiiiiiii......", mata membesar, senyum lebar, tangan kiri setengah mengepal menutup ujung mulutnya sementara tangan kanan menunjuk foto dirinya di layar LCD kamera. Lucu juga mama-mama ini... Kalau anak-anak, mereka akan tertawa terkikik-kikik melihat foto diri mereka... sementara bapa-bapa akan berseru : 'waaah..., waaaah...'seruan  gembira dan terima kasih, sambil tersenyum lebaaaarr...
Kaaaaann.... semua pakai kalung manik-manik dilingkar-lingkar di lehernya... laki-laki, perempuan, bayi, nenek, kakek... semua! Terutama mama-mama, cantik-cantik kan mereka dengan kalung-kalungnya? juga anak-anak dan bayi-bayi, lucu-lucu..., sayang banyak yang ingusnya beleleran... hehehe... Kata mama yang bawa babi kecil itu, kalau tidak pakai kalung itu tidak baik.. kosong.. seperti "telanjang"... begitu katanya.

Bersambung ke "Manik-manik untuk Papua 3 : Mama-mama..., Mari Kita Meronce Bersama"


Manik-manik untuk Papua 1 : Berangkaaaaaat

Bagian 1 dari 4 rangkaian tulisan "Manik-manik untuk Papua"

Sebelumnya, mohon maaf yang sebesar-besarnya karena lamaaaaaaa sekali baru selesai catatan perjalanan ini, terutama buat yang mendonasikan simpanan manik-manik berharganya untuk kegiatan ini.

Sore, hari Jumat tanggal 6 Desember 2013. Jarum jam di kantor menunjukkan pukul 15:30… satu jam sebelum orderan taksi ke Bandara Soekarno-Hatta tiba. Sekali lagi cek kelengkapan barang-barang yang akan kubawa, terutama manik-manik donasi dari beberapa teman-teman yang sangat pemurah. Terus terang kali ini aku tercengang takjub dengan kemurahan hati mereka.. tidak tanggung-tanggung.. total berat manik-manik tersebut ternyata tidak kurang dari 7 kg. Wow!
Lili Krist Manik Jawa dan satu orang temannya, Tanti Saraswati, Tanty Sri Hartanti, Mikko Wiropati, Isworo Larasati, Febrini A. Risyad, dan tentunya juga dari saya sendiri Esterina K. Jagiella… Satu persatu kiriman mereka saya foto, termasuk sedikit Gudo seedbeads dari saya, pasang foto-fotonya di Grup Facebook Indonesia Bead Lovers(IBL) sesaat sebelum berangkat.


Dari Mikko Wiropati yang paling semangat langsung kirim begitu tau aku mau ke papua *peluk!*


Dari Mbak Isworo Larasati... surprise tiba-tiba aja udah ada di meja kerjaku.. cakep-cakep bener batu2nya..






Dari Febrini A. Risyad.. yang ajaib nyampe cepet bener.. 1/2 hari meskipun pake reguler, kirimnya siang, keesokan paginya udah nyampe.. si kurir udah nongol nyampe depan pintu sebelum jam 8 pagi... pas sedetik sebelum aku buka pintu mau berangkat ke kantor... Ajaib kan?



Dari mbak Tanti Saraswati... paling duluan kontak mbak LiliKrist semangat mau ikutan ngirim... warna-warninya yang oke pasti jadi rebutan. 





Dari mbak LiliKrist Manik Jawa dan temannya... Mbak Lilik inilah penggagas ide kegiatan Manik untuk Papua ini.
Tali biru kuning hijau itu sempat bingung mau dibikin apa...






Dari mbak Tanty Sri Hartanti... gara-gara mbak LiliKrist salah kasih nomer telpon (aku minta nomer telpon mbak Tanti Saraswati, eh dikasih nomer telpon mbak Tanty Sri Hartanti)... akhirnya malahan jadi ikutan nyumbang. Manik-maniknya oke banget lhoo..
Yang ini ajaib juga.. paket manik-manik tiba 10 menit sebelum aku berangkat dari kantor ke airport. Waktunya pas bener ya?



Dan... manik kaca seedbeads Gudo dari aku :) 








 







Tuh kaan.. banyak bener manik-maniknya. Ada manik-manik kaca, kristal, batu, akrilik, resin, kerang, koral, kayu... belum lagi bahan-bahan penunjangnya, ada kawat-kawat termasuk memory wire, tali-tali, jumpring berbagai ukuran, ring untuk keychain, komponen untuk anting-anting termasuk earring hooks... dan masih banyak lagi... lengkap dah pokoknya.

Kegiatan ini berawal dari obrolan ringan dengan mbak Lilik Manik Jawa yang tahu kalau aku sering ke pelosok pegunungan di Papua untuk tugas kantor. Akhirnya tercetuslah ide untuk mengajarkan mama-mama di Papua cara merangkai kalung, sekaligus menyumbangkan manik-manik untuk mereka. Pertama kali dilaksanakan di Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, dengan manik-manik dari mbak Lilik Manik Jawa dan dari aku sendiri... ndak banyak, sekitar 2 kiloan lebih... hehe...

Kali ini tujuan perjalananku adalah ke satu kota kecamatan kecil, Distrik Ilu di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Cari-cari petanya di google dan wiki, untuk kasih gambaran dimana sebenarnya Ilu itu, kok ya ndak ada ya..  Yang jelas, Puncak Cartenz, puncak tertinggi di Indonesia terletak di kabupaten yang sama. Jadi bisa dibayangkan dinginnya ya? Ilu terletak dilereng pegunungan dengan ketinggian tak kurang dari 2500 meter di atas permukaan air laut, sangat dingin tapi untungnya tidak sampai beku yaa :).  

 Yak!! penanda merah itu..tepat di tengah Papua yaa..          Photo Ilu, diambil dari pesawat tahun 2011               Pemandangan Ilu dari salah satu bukit       
Ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke tempat dengan pemandangan indah itu. Kali pertama dan kedua di tahun 2011, untuk persiapan dan pelaksanaan kegiatan kerja operasi katarak dan pemeriksaan mata gratis yang kami lakukan bersama dengan Palang Merah Indonesia dan tim out-reach Bagian Mata RS. Dian Harapan Waena Jayapura. Dan kali ketiga ini, juga untuk kegiatan yang sama. Berdasarkan pengalaman, setelah hari kedua biasanya tidak terlalu sibuk. Kali ini  rencananya akan melakukan sesuatu bersama mama-mama disana... tentunya yang berhubungan dengan manik-manik yaa..

Dari beberapa kali perjalanan ke beberapa tempat di pegunungan tengah Papua, bertemu dan berbincang-bincang dengan masyarakat terutama suku Dani, aku mengetahui bahwa mereka sangat menghargai manik-manik, atau “ingken” dalam bahasa Dani. Suku Dani adalah suku terbesar di Papua yang terutama mendiami daerah pegunungan tengah. Bagi suku ini, ingken sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Bila diperhatikan dari beberapa daerah yang pernah aku kunjungi, budaya ingken ini masih sangat dipegang dan dihargai. Hampir setiap orang mengenakan kalung manik-manik, dari bayi sampai orang-orang tua, baik perempuan ataupun laki-laki, semua gemar mengenakan ingken. Sebagian besar berupa kalung manik-manik yang dilingkar-lingkarkan di leher mereka… semakin banyak semakin baik, semakin menarik.

OK, kembali ke laptop... eh, Jakarta. Dari Jakarta pesawat Garuda Boeing 737-800NG lepas landas jam 21:15 malam, terlambat 20 menit dari jadwal, dan tiba di Airport Sentani di Papua jam 07:15 Sabtu pagi keesokan harinya setelah transit 30 menit di Makassar dan Biak. Lama ya terbangnya? Indonesia kita ini luas bener... segitu lama terbang, mendarat masih di Indonesia juga... hehehe...

Pemandangan Danau Sentani dari atas pesawat
sesaat sebelum mendarat
Dari Bandara Sentani, menempuh sekitar satu jam perjalanan darat menyusuri Danau Sentani yang elok, untuk tiba di kota Jayapura... beristirahat untuk perjalanan selanjutnya (hihihi, bayar tidur sih benernya...) sambil mempersiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan Program Katarak.

Keesokan harinya, Minggu, kami kembali ke Bandara Sentani untuk melanjutkan perjalanan ke kota Wamena dengan pesawat baling-baling Trigana Air Service ATR 72-200. Hanya perlu waktu 50 menit untuk terbang dari Sentani ke Wamena. Hari itu juga, kami bisa mendapatkan 2 kendaraan 4-WD (double garden) tanpa kesulitan berarti, disewa untuk perjalanan darat ke Ilu. Setelah menginap satu malam di Wamena, tepat pukul 8:30 hari Senin kami berangkat ke Ilu. Perjalanan darat yang penuh goncangan, terlompat-lompat dan beberapa kali berseru aduh! karena kepala terantuk pintu mobil. Maklum, infrastruktur jalan masih jelek, berbatu-batu, lumpur, dan terkadang harus masuk ke kali berbatu-batu saat menyeberang karena tak ada jembatan atau jembatan yang ada rusak. Yah, kata pak supir: cuci ban dulu... hehehe... Bener-bener seru lho.. :D. Belum lagi pemandangannya yang aduhai indahnya, gunung-gunung yang indah dengan latar belakang langit biru, dan tampak honai-honai (rumah adat suku Dani) di kejauhan di lereng-lereng gunung... Jadi merasa bersyukur dikasih kesempatan menikmati yang begini ini. Untungnya sudah beberapa hari tidak turun hujan, sehingga jalan agak kering dan tidak ada resiko mobil tertanam dalam lumpur.



Setelah 7 jam lebih, sampailah rombongan di Ilu, kota tujuan kami. Disinilah kegiatan operasi katarak dan pemeriksaan mata gratis akan dilaksanakan… begitu juga kegiatan “Manik-manik untuk Papua”.

(Bersambung ke "Manik-manik untuk Papua 2 : Ilu dan Budaya Manik-manik)